Written By:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School/Pendiri Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA) di 15 propinsi 32 kota di Indonesia
Jika orangtua memperhatikan perbedaan dirinya dengan anak dan mengakuinya sebagai bagian dari anak, sepanjang tidak negatif, akan lebih mudah bagi orangtua untuk memperlakukan anak dan tidak membandingkan dengan dirinya di masa lalu.
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School/Pendiri Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA) di 15 propinsi 32 kota di Indonesia
Jika orangtua memperhatikan perbedaan dirinya dengan anak dan mengakuinya sebagai bagian dari anak, sepanjang tidak negatif, akan lebih mudah bagi orangtua untuk memperlakukan anak dan tidak membandingkan dengan dirinya di masa lalu.
Judul di atas sungguh menggelitik saya. Pertanyaan ini diajukan oleh seorang ayah pada saya di forum “yuk-jadi orangtua shalih”. Benarkah anak sekarang lebih sering membantah orangtua daripada anak jaman dulu?
Sebenarnya, sikap membantah anak pada orangtua adalah hal yang tak dapat dihindari, baik jaman dulu maupun sekarang. Apakah anak sekarang lebih sering membantah daripada anak jaman dulu? Ini perlu pembuktian lebih lanjut. Mungkin perlu wawancara yang melibatkan banyak orangtua melalui sebuah penelitian yang terukur. Tetapi, bahwa anak jaman dulu dan sekarang juga pernah membantah orangtua, adalah hal yang tak dapat dihindarkan.
Mengapa saya katakan tak dapat dihindarkan? Pertama, karena orangtua dan anak memiliki ‘pikiran’ masing-masing. Pikiran ‘tua’ dan ‘muda’ dapat menyebabkan perbedaan-perbedaan keinginan, harapan hingga cara mewujudkan harapan dan keinginan tersebut. Kedua, meski kadang ada irisan, kemiripan karakter, tak dapat dipungkiri setiap manusia memiliki karakter uniknya masing-masing. Anak kembar pun yang memiliki kemiripan wajah, dapat memiliki perbedaan besar dalam karakternya. Apalagi orangtua dan anak. Dalam batas tertentu, sebenarnya adalah sebuah kewajaran jika terdapat perbedaan karakter orangtua dan anak. Sekali lagi, sepanjang karakter ini tidak negatif, wajar saja anak dan orangtua memiliki perbedaan karakter.
Perbedaan-perbedaan inilah yang kemudian dapat menjadi ‘peluang’ adanya pertentangan anak-orangtua. Saat anak merasa tak nyaman dengan ‘keinginan, harapan dan cara orangtua mewujudkan keinginan dan harapan tersebut—meski sebenarnya tujuan baik untuk anak’, inilah yang kadang membuat sebagian orangtua kemudian menganggapnya sebagai sikap pembangkangan anak pada orangtua.
Sebenarnya, sikap membantah anak pada orangtua adalah hal yang tak dapat dihindari, baik jaman dulu maupun sekarang. Apakah anak sekarang lebih sering membantah daripada anak jaman dulu? Ini perlu pembuktian lebih lanjut. Mungkin perlu wawancara yang melibatkan banyak orangtua melalui sebuah penelitian yang terukur. Tetapi, bahwa anak jaman dulu dan sekarang juga pernah membantah orangtua, adalah hal yang tak dapat dihindarkan.
Mengapa saya katakan tak dapat dihindarkan? Pertama, karena orangtua dan anak memiliki ‘pikiran’ masing-masing. Pikiran ‘tua’ dan ‘muda’ dapat menyebabkan perbedaan-perbedaan keinginan, harapan hingga cara mewujudkan harapan dan keinginan tersebut. Kedua, meski kadang ada irisan, kemiripan karakter, tak dapat dipungkiri setiap manusia memiliki karakter uniknya masing-masing. Anak kembar pun yang memiliki kemiripan wajah, dapat memiliki perbedaan besar dalam karakternya. Apalagi orangtua dan anak. Dalam batas tertentu, sebenarnya adalah sebuah kewajaran jika terdapat perbedaan karakter orangtua dan anak. Sekali lagi, sepanjang karakter ini tidak negatif, wajar saja anak dan orangtua memiliki perbedaan karakter.
Perbedaan-perbedaan inilah yang kemudian dapat menjadi ‘peluang’ adanya pertentangan anak-orangtua. Saat anak merasa tak nyaman dengan ‘keinginan, harapan dan cara orangtua mewujudkan keinginan dan harapan tersebut—meski sebenarnya tujuan baik untuk anak’, inilah yang kadang membuat sebagian orangtua kemudian menganggapnya sebagai sikap pembangkangan anak pada orangtua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar