Oleh Fikri Yathir
Malam itu di sebuah bilik pengap penjara Auschwitz gempar. Tiga orang napi melarikan diri. Penguasa penjara meledakkan kemarahannya dengan mengambil 10 orang napi teman para napi yang melarikan diri itu.
Franciszek Grajowniczek, salah seorang yang diambil untuk dihukum mati, menjerit, “Aduh, isteriku dan anak-anakku yang malang. Aku takkan melihat mereka lagi.” Mendengar itu, Maximillian Kolbe, seorang napi lain, segera bangkit dan menyatakan akan menggantikan temannya itu untuk dihukum. Ia beserta sembilan orang lainnya disekap di penjara bawah tanah.
Franciszek Grajowniczek, salah seorang yang diambil untuk dihukum mati, menjerit, “Aduh, isteriku dan anak-anakku yang malang. Aku takkan melihat mereka lagi.” Mendengar itu, Maximillian Kolbe, seorang napi lain, segera bangkit dan menyatakan akan menggantikan temannya itu untuk dihukum. Ia beserta sembilan orang lainnya disekap di penjara bawah tanah.
Menurut instruksi, mereka harus disekap sampai mati. Dua minggu kemudian, mereka dikeluarkan sebagai mayat, kecuali Kolbe. Ia masih hidup. Akhirnya, ia dibunuh dengan suntikan asam karbolik di tangannya.
Apa yang menyebabkan Kolbe memiliki daya tahan yang luar biasa? Apa yang mendorongnya untuk menggantikan kawannya?
“Rahasia kekuatan ekstra untuk bertahan ini, saya kira, tak ada hubungannya dengan teologi tertentu atau makna tertentu yang diberikannya pada kehidupan. Menurut saya, kemungkinan besar yang menimbulkan keberanian ini adalah keterikatan orang beriman kepada Tuhan. Sebutlah kecintaanya kepada Tuhan. Atau, paling tidak, kecintaannya kepada keyakinannya,” tulis Celia Haddon dalam The Miraculous Power of Love.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar